Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:
“Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepaskan dalam sekawanan kambing akan menyebabkan daya rusak (bagi kawanan kambing tersebut) yang lebih besar dibanding daya rusak terhadap agama seseorang akibat ambisinya terhadap harta dan kedudukan” (Diriwayatkan dari putra Ka’b bin Malik dari ayahnya, Hadits Shahih, HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Lihat Shahih At-Targhib Wat Tarhib no. 1710)
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan tentang hadits ini : “Ini sebuah perumpamaan yang agung sekali. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam sebutkan perumpamaan rusaknya agama seorang muslim akibat ambisinya terhadap harta dan kedudukan di dunia. Juga bahwa akibat kerusakan agama yang ditimbulkannya tidak lebih ringan dari hancurnya sekawanan kambing karena serangan dua ekor serigala pemangsa yang lapar di malam hari saat penggembala tidak menjaganya. Kedua serigala itu memangsa kambing tersebut dan memakannya. Seperti diketahui, tidak akan ada yang selamat dari sergapan serigala tersebut dalam kondisi seperti ini kecuali sedikit.
Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam ingin mengisyaratkan bahwa agama seorang muslim tidak akan selamat bila dia berambisi terhadap harta dan kedudukan di dunia ini kecuali hanya sedikit (dari agamanya), sebagaimana kambing-kambing tersebut tidak selamat dari sergapan serigala melainkan hanya sedikit yang berhasil selamat. Dengan demikian, perumpamaan ini mengandung peringatan keras dari kejahatan ambisi terhadap harta dan kedudukan di dunia.”
Ambisi terhadap harta ada dua macam:
Pertama, sangat cinta harta dan sangat berupaya mencarinya dari jalan-jalannya yang mubah serta berlebihan dalam mencarinya. Sangat serius dalam memperolehnya dari berbagai jalannya dengan getol dan bersusah payah.
Terdapat dalam sebagian riwayat bahwa sebab munculnya hadits ini adalah jatuhnya sebagian orang ke dalam jenis ini.
Bila dalam ambisi harta benda tidak ada efek kecuali sekadar menyia-nyiakan umurnya, yang semestinya dapat ia manfaatkan untuk memperoleh derajat yang tinggi dan kenikmatan akhirat yang kekal. Umurnya dihabiskan secara sia-sia dengan ambisi dalam mencari rezeki, yang sebenarnya rezeki telah dijamin dan dibagi-bagikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal seseorang tidak mendapatkan rezeki melainkan sesuai dengan apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala takdirkan untuknya. Seorang yang berambisi menyia-nyiakan waktunya yang mulia dan berspekulasi dengan dirinya…
Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu berkata: “Yakinlah engkau tidak mencari ridha manusia dengan mengakibatkan murka Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan engkau tidak iri kepada seorang pun karena rezeki yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala karuniakan kepadanya, engkau tidak mencela seorang pun atas apa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala belum berikan kepadamu. Karena sesungguhnya rezeki Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu tidak dapat ditentukan oleh ambisi seseorang. (Rezeki) tidak pula dapat ditolak walaupun seseorang membencinya. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala–dengan keadilan-Nya– menjadikan ketenangan dan kebahagiaannya pada keyakinan dan keridhaan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menjadikan kegundahan dan kesedihannya pada keraguan dan kemarahan…
Kedua, ambisi terhadap harta lebih dari apa yang disebutkan pada macam yang pertama. Sehingga dia mencari harta dari jalan-jalan yang haram dan tidak menunaikan hak yang wajib. Ini termasuk syuh (ambisi) yang tercela. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang dipelihara dari syuh (kekikiran) dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Dalam Sunan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar c, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam:
“Berhati-hatilah kalian dari syuh (ambisi), karena hal itu menghancurkan orang yang sebelum kalian. Memerintahkan mereka untuk memutus hubungan silaturrahmi, maka mereka memutusnya. Memerintahkan mereka untuk tidak berinfak, mereka pun tidak berinfak. Memerintahkan mereka untuk berbuat jahat, mereka pun berbuat jahat.”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir radiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam, beliau bersabda:
“Berhati-hatilah kalian dari syuh, karena hal itu telah membuat binasa orang-orang sebelum kalian, membuat mereka menumpahkan darah, dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan atas mereka.”
Sekelompok ulama mengatakan: “Syuh berarti ambisi besar yang membuat penyandangnya mengambil sesuatu yang tidak halal dan tidak mau menunaikan hak yang wajib. Hakikatnya adalah jiwanya sangat merindukan apa yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dia dilarang darinya, serta seseorang tidak merasa puas dengan apa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala halalkan berupa harta, kebutuhan nikahnya, ataupun selainnya.”
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah halalkan untuk kita hal-hal yang baik dari makanan, minuman, atau pakaian, serta kebutuhan nikah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala haramkan memanfaatkan itu semua tanpa melalui jalurnya yang halal. Allah Subhanahu Wa Ta’ala halalkan untuk memerangi orang-orang kafir yang memerangi serta menghalalkan harta mereka. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga mengharamkan hal-hal yang jelek selain itu dari makanan, minuman, pakaian, dan kebutuhan nikah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga haramkan atas kita untuk menumpahkan darah tanpa alasan yang benar. Barangsiapa membatasi diri pada apa yang dihalalkan maka dia adalah seorang mukmin. Sedangkan barangsiapa yang melampaui (batas) kepada yang dilarang maka ini yang disebut syuh yang tercela, dan ini bertentangan dengan iman. Oleh karenanya, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam memberitakan bahwa syuh itu memerintahkan kepada pemutusan hubungan silaturrahmi, kejahatan, dan kebakhilan. Kebakhilan itu sendiri bermakna seseorang menahan apa yang ada di tangannya (tidak mau menginfakkannya). Adapun syuh bermakna mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan cara yang zalim dan permusuhan, baik itu harta atau yang lainnya. Sampai-sampai disebut bahwa syuh itu merupakan pokok segala maksiat.
Dengan makna inilah, Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu dan ulama salaf yang lainnya menafsirkan kata syuh dan kebakhilan. Dari sinilah kita mengetahui makna hadits Abu Hurairah radiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam:
“Tidak akan berkumpul (tidak akur, red) antara syuh dan iman dalam qalbu seorang mukmin.”
Juga hadits yang lain dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam:
“Sebaik-baik iman adalah kesabaran dan samahah”
Kesabaran tersebut ditafsirkan dengan sabar menahan diri dari hal-hal yang diharamkan. Sedangkan samahah di sini ditafsirkan dengan menunaikan kewajiban.
Terkadang kata syuh juga berarti kebakhilan atau sebaliknya. Akan tetapi pada asalnya adalah berbeda antara keduanya sesuai dengan yang kami sebutkan. Ketika ambisi kepada harta itu sampai kepada derajat semacam ini, maka dengan ini agama seseorang akan dengan nyata terkurangi. Karena ia tidak melaksanakan kewajiban dan melakukan yang haram, yang menyebabkan menurunnya agama seseorang tanpa diragukan sehingga tidak tersisa lagi kecuali sedikit. (Syarh Hadits Ma Dzi’bani Ja’i’ani)
Sumber:
Al-Ustadz Qomar Suaidi, Oase edisi 50, penyederhanaan bahasa sedikit dilakukan, sedangkan untuk melihat sumber aslinya silahkan baca dihttp://asysyariah.com/syariah/oase/449-agama-hancur-karena-ambisi-harta-dan-kedudukan-oase-edisi-50.html
0 komentar:
Posting Komentar